Tersenyum di Kopi Ko Acung
Tersenyum Kopi Ko Acung – Saya mengenal Kopi Ko Acung dari Mbak Widi, pengelola komunitas bahasa Jawa Tlatah Waktu. Kami janjian bertemu dengan Mbak Hung, seorang anggota Tlatah Waktu dari Beijing, yang sedang berlibur di Jakarta. Dipilih daerah Sabang karena terletak di pertengahan tempat tinggal kami dan hotel yang diinapi Mbak Hung.
Semula Mbak Widi mengusulkan sebuah kedai kopi. Ndilalah kedai itu tutup, sehingga kami pun beralih ke kedai di sebelahnya, Kopi Ko Acung. Kami hanya sebentar di sana, karena Mbak Hung akan ke bandara. Dengan waktu 1,5 jam, kami hanya sempat mencicipi camilan. Dalam hati saya berencana ke resto itu lagi untuk mencoba Sop Singkong Kuah Sapi, yang terpampang di halaman pertama buku menu.
Keinginan itu terwujud. Kira-kira 1,5 bulan kemudian, saya ada keperluan di daerah Sabang, bersama dua sahabat SMA saya, Wiwied dan Tika. Saya mengusulkan kepada mereka untuk mampir ke Kopi Ko Acung.
Maka pada suatu pagi, kami pun ke sana. Ajaib memang Kopi Ko Acung, karena sepagi itu sudah buka, sementara resto lain biasanya pukul 10.
Saat membuka buku menu, Tika mengatakan ingin mencoba Sop Singkong Kuah Sapi. Wow! Hidangan impian saya akan hadir. Untuk appetizer, kami sepakat memesan Choipan.
Seperti pada kunjungan pertama, saya memesan teh poci kesukaan saya. Syukurlah Kopi Ko Acung menyajikan minuman Jawa, jadi kalau lidah saya terkejut dengan rasa baru, akan ada rasa teh pahit yang sudah saya kenal.
No Pork. No MSG.
Satu hal yang membuat saya tertarik pada restoran ini adalah konsep peranakan dengan sajian khas Sambas, Kalimantan Barat. Wah, beruntung sekali saya bisa mencicipi makanan Sambas di Jakarta. Saya teringat pada Dian Sastro dan Nicholas Saputra yang menyantap makanan Pontianak dengan lahap di film Aruna dan Lidahnya.
Kopi Ko Acung menulis janji resto ini pada profil Instagramnya: Halal 100%, No MSG, No Pork, No Lard. Lucu juga, MSG diselipkan di tagline kehalalan. Malah bahan mengandung alkohol tidak ditulis di tagline itu. Di salah satu unggahan di Instagram, Kopi Ko menulis caption,
“Ko pake angciu atau arak gak masaknya?” Jawabannya tentu tidak ya. Semua bahan masakan yang dipakai menggunakan bumbu-bumbu serta bahan masakan yang halal tidak menggunakan angciu, arak masak atau sejenisnya
Ya, pada beberapa halaman menu juga tertulis “No Pork, No Lard, Halal”.
Dalam bisnis jasa, membangun trust pelanggan adalah hal yang utama. Nah, Ko Acung sudah berhasil menumbuhkan trust saya pada kehalalan sajiannya.
Saya pun melangkah ke dalam dengan ringan, pada kunjungan pertama. Dan berani mengajak teman pada kunjungan kedua.
Peranakan Kalimantan
“Kadang-kadang Ko Acung, pemilik resto ini, ada di sini,” kata Mbak Widi, pada kunjungan saya yang pertama.
Oh jadi Ko Acung itu betul-betul sosok manusia, bukan hanya ikon untuk branding restoran.
Baik pada kunjungan pertama maupun kedua, saya belum beruntung dapat bertemu Ko Acung.
“Kapan biasanya Ko Acung datang?” saya bertanya kepada pramusaji, saat membayar pesanan pada kunjungan kedua.
“Biasanya siang,” jawabnya.
Wah, apa boleh buat, saya tidak sempat bertemu Ko Acung karena kami sudah harus pergi.
Sesampainya di rumah saya pun bertanya tentang Ko Acung kepada Ko Gu Gel. Saya kurang puas karena jawaban yang diberikan kurang menampilkan sisi pribadi Ko Acung. Kebanyakan bercerita bahwa Kopi Ko Acung Sabang baru dibuka 23 Mei 2022, dan merupakan resto ketiga setelah Bintaro dan Pondok Aren.
Setelah saya cerewet lagi kepada Ko Gu Gel, muncul deh tetesan jawaban seperti saat jeruk sonkit diperas.
Di salah satu unggahan Tiktoknya Ko Acung menunjukkan rumah masa kecilnya di Sambas, Kalimantan Barat. Rumah itu berdiri di atas air, atau disebut juga sebagai rumah lanting. Dindingnya dari kayu, dan atapnya dari rumbia.
Masa kecil di Sambas ini yang berpengaruh pada sajian di resto Ko Acung.
Menu Camilan
Di Kopi Ko Acung tersedia lebih dari 30 sajian camilan. Ini yang membuat saya bingung. Sajian Sambas apa yang saya pilih? Jawaban yang tidak mudah, apalagi bila waktu yang tersedia untuk menikmati hidangan tidak banyak. Itu yang terjadi ketika saya duduk di meja pada kunjungan ke Kopi Ko Acung yang pertama.
Pada kunjungan yang kedua, saya menyerahkan pemilihan appetizer pada Tika. Dia lebih jago memilih makanan karena sering traveling.
Ini camilan yang saya coba di Kopi Ko Akung.
Tahu Goreng
Pada kunjungan saya yang pertama, saya mencicipi Tahu Goreng. Ini pilihan Mbak Widi, yang tampaknya sudah sering ke sana, Dengan cepat Mbak Widi memesan sepiring tahu pong tabur bawang putih goreng untuk disantap bertiga dalam waktu singkat. Mbak Hung adalah orang Tionghoa yang berasal dari Malaysia, sehingga tidak ragu makan tahu.
Tahu itu tidak berminyak. Rasanya gurih dengan adanya taburan bawang putih goreng.
Kue Lobak
Karena kondisi kesehatan tidak membolehkan saya menyantap masakan berbahan kedelai, hari itu saya pun memilih makanan lain.
Di meja tergantung flyer Kue Lobak yang mempermudah saya membuat pilihan. Sebetiulnya saya tidak suka lobak, namun saya penasaran dengan kue lobak. yang dikatakan di flyer itu: Makanan khas Kalimantan Barat. Kalau sampai dipromosikan begitu, pastilah rasanya enak.
Betul, ternyata Kue Lobak itu enak. Sama sekali tidak langu, seperti lobak rebus yang biasa saya makan. Ada asinnya, dan ada gurih ebinya. Aroma lobak tidak terasa karena yang diambil adalah saripatinya. Pada beberapa resep kue lobak di internet, saya mendapatkan bahwa lobak ini diblender dengan air, lalu disaring. Saya merasa kue ini cocok dengan paduan teh poci yang saya pesan.
Choipan
“Kalau Choipan, gue mau,” kata Rai yang diperankan oleh Dian Sastro pada film Aruna dan Lidahnya. Di film itu saya pertama kali mengenal choipan. Proses pembuatannya juga digambarkan di film, dari pembuatan kulit, pengisian sayur ke dalam kulit, hingga pengukusan. Taburan bawang putih goreng membuat dumpling putih terlihat cantik saat di kukus.
Di Kopi Ko Acung pada kunjungan kedua, saya merasa menjadi Dian Sastro yang mengunyah lezatnya Choipan (ciyeee). Lezat? Tunggu dulu. Menurut Tika, yang memilih kudapan itu, Choipan di Kelapa Gading lebih enak. Wiwied pun mengiyakan. “Kapan-kapan nyobain ke sana deh, Ndah,” kata Wiwied.
Saya setuju dengan ajakan itu. Namun saya percaya bahwa setiap koki menghasilkan sajian berbeda, sekalipun nama masakannya sama. “Beberapa masakan nggak pernah pindah tangan,” pesan Pak Musa, seorang pasien terduga flu burung saat ditemui Rai dalam Aruna dan Lidahnya.
Masakan juga mengandung pesan. Choipan di Kelapa Gading berada di resto fancy, sehingga olahannya berbeda dengan Choipan Ko Acung yang dijual dengan harga Rp12.000 seporsi (dua buah). Resep koki di Kelapa Gading pun berbeda dari Ko Acung. Si Koko memperolehnya dari keluarganya yang sederhana dari permukiman rumah lanting.
Ko Acung tidak hanya menjual masakan kampungnya, namun juga mengedukasi konsumennya. Di salah satu unggahan Instagram, Ko Acung memberi petunjuk cara memakan Choipan. Kudapan itu dibelah dengan sendok pada sisi yang panjang, dikucuri jeruk sonkit dan saus. Makannya? Langsung dilahap semua.
Kelak kalau makan Choipan saya akan membelah dari sisi panjang, tapi saya tidak akan menyantapnya bulat-bulat. Cara makan tergantung pada didikan dalam keluarga, bukan?
Menu Utama
Pada buku menu terdapat 30 sajian berat yang ditawarkan. Pilihan saya tetap Sop Singkong Kuah Sapi. Kebetulan Tika juga memilih hidangan itu. Kami memesan semangkuk untuk bertiga.
Saat sajian itu datang, kami mendapatkan potongan singkong, suun dengan diameter tiga kali lebih besar dibandingkan suun yang biasanya saya lihat, dan irisan daging sapi. Semua berenang dalam kuah hangat, dihiasi bawang goreng dan irisan seledri. Pada wadah kecil, ada kacang goreng, teri goreng dan sebuah jeruk sonkit yang sudah dibelah.
Jeruk sonkit, juga tersaji pada Choipan, berbentuk kecil seperti limau, dengan kulit setipis jeruk Pontianak. Isinya berwarna oranye. Seorang teman saya menanam jeruk ini di rumahnya di Jakarta Selatan. Saat dia panen, saya mendapat kiriman sekantong jeruk mungil yang disebutnya dengan nama lemon cuy.
Tika segera mengucuri kuah sop dengan air jeruk. Rasa asam jeruk menjadi dominan ketika saya menyuap. Saya mencari rasa bumbu yang lain. Tidak ada.
Saya mendapat “jatah” di mangkuk besar, sedangkan Tika dan Wiwied masing-masing memakai mangkuk yang lebih kecil. Jadi seharusnya saya mendapat bumbu lebih banyak karena rempah yang ada di dasar mangkuk pastinya tertinggal saat sop kuah dituang ke mangkuk lain.
Hingga sendok kuah terakhir, saya merasa sop ini tidak kaya rasa seperti sop buatan Bibi di rumah. Eh, tapi tokh saya menyantap sampai habis! Oh ya, janji Ko Acung hidangannya tanpa MSG, kan. Karena rasa kuah yang sederhana, saya bisa menghayati empuknya singkong, kenyalnya daging sapi, dan halusnya suun. Masakan tidak akan salah, kan. Apalagi yang segar!
Tulisan Kuliner yang Lain
Nur Corner: Tes Lidah
Makan Nasi Bali adalah cerita tentang kunjungan kedua ke resto itu dengan menu sama. Ada kiatnya!
Nasi Bali di Nur Corner
Nasi Bali di Nur Corner adalah salah satu menu pilihan saya. Bagaimana rasanya? Bagaimana dibanding menu lain?
Bakerzin: Lupakan Diet
Bakerzin: Lupakan DietLupakan Diet di Bakerzin - Siang itu saya dan geng teman kuliah janjian bertemu di Bakerzin Plaza Senayan, Jakarta. Betsy, salah seorang anggota geng, yang mengusulkan pergi ke sana. Saat mendengar itu, air liur saya langsung menetes. Bagi saya...
Berapa Rp?
1 Choipan Rp12.000
2 Teh hangat Rp16.000
1 Teh Poci Rp20.000
1 Sop Singkong Kuah Sapi Rp45.000
Total Rp93.000
Jl. H. Agus Salim No. 16A, Menteng, Jakarta Pusat
Buka 07:00 – 22:00 08991187777, 0895324237233
bener2 penulis…
kebayang kita ke havana tulisan nya pasti cihuy…
Sy selalu menikmati tulisan Endah yg enak dibaca, mengalir dg baiknya dan kita bisa merasakan seperti berada di resto tsb.
Juwaraaaak sahabat satu ni…
Seneng bisa ngeteh pagi en chitchat di kedai kopi Ko Acung…