Select Page

Nur Corner: Tes Lidah

Nur Coner: Tes Lidah. Lantaran saya tidak nyaman dengan ulasan terdahulu tentang Nur Corner, saya ke resto itu lagi. Di dalam tulisan tersebut saya mengatakan Nasi Campur Bali di Nur Corner berbumbu tajam. Akibatnya, saya jadi overthinking terhadap komentar itu.

Agar overthinking tidak berlanjut, saya pun  saya pun ke resto itu lagi, dengan mengajak Bu Lily, sahabat SMP sekaligus tetangga saya yang pandai masak. Saya ingin mengecek apakah menu itu memang berbumbu tajam, atau lidah saya yang salah.

Tes Lidah Nasi Bali

Pertama, saya melakukan reservasi via WA pada H-1 , dan menerima balasan bahwa di resto masih ada tempat untuk dua orang. Setelah mentransfer DP, saya mendapat informasi bahwa kami mendapat tempat duduk di Table 1.

Saat kami datang, cuaca cerah. Ini berpengaruh pada mood kami saat melangkah ke dalam.

Kami langsung menuju Table 1, seperti yang disebutkan petugas reservasi. Tempat  itu berupa meja dengan dua kursi berhadapan,  menempel pada dinding sebelah kiri.  Terasa kurang private karena berada di tempat orang lalu lalang. Apalagi meja-meja yang menempel pada dinding yang kanan mempunyai kursi menghadap kami. Namun saya mencoba mindful dan mengabaikan orang yang duduk menghadap kami. Saya belum pernah duduk di meja itu, sehingga mungkin akan ada pengalaman baru.

Dengan cepat pramusaji memberikan buku menu. Mengingat pengalaman dengan Teh Pandan saat kunjungan pertama, saya bertanya kepada Bu Lily, apakah berminat dengan minuman itu. Bu Lily setuju memesan Teh Pandan.

Seperti niat awal, saya memesan Nasi Campur Bali. “Kemarin waktu ke sini, salah satu teman pesan Soto Betawi. Enak rasanya. Kalau Nasi Goreng Cumi terasa asin,” saya memberi masukan kepada Bu Lily.

“Saya mau Soto Betawi,” kata Bu Lily sambil menutup buku menu.

“Oh ya, risoles ya untuk makanan pembuka,” kata saya kepada pelayan. Saya ingin Bu Lily mencicipi risoles, karena dia pun membuat risoles untuk dijual.

Sambil menunggu pesanan, kami memperhatikan sekeliling, lewat cermin yang menempel di dinding. Pengunjung perempuan semua.

“Kebanyakan tamunya seumuran kita,” saya berbisik kepada Bu Lily. “Mereka sepertinya sosialita ya. Eh, tapi kita juga sosialita karena mereka duduk menghadap ke arah kita.” Kami berdua tertawa terkikik.

Ke Resto Biru Lagi

Nasi Baliku

Pesanan kami datang hampir bersamaan. Khusus Nasi Campur Bali, saya mendapatkan sajian yang cantik. Hidangan ditata di piring putih dengan pinggiran bertekstur. Ada  daun pisang sebagai alas tumpeng kecil yang dikelilingi lauk-pauk.

Nasi Campur Bali sajian Nur Corner terdiri dari nasi putih, ayam sisit (suwir), telur rebus, sayur singkong masak lawar, satai lilit, dan ayam betutu. Semua dalam porsi mini.

Jenis makanan ini, nasi campur, sebetulnya ada di warung-warung berbagai daerah di Indonesia. Dalam satu piring disajikan lauk-pauk, yang biasanya terdiri dari lauk utama (protein), sayur, dan lauk tambahan. Menu itu semacam paket hemat, karena orang bisa mendapatkan berbagai lauk  dalam satu sajian.

Bali adalah salah satu daerah yang memiliki nasi campur. Tidak ada aturan jenis lauk yang disajikan, tapi pastinya mengacu pada makanan tradisional Bali, seperti yang tersaji di Nur Cafe ini.

Kita bahas yuk satu per satu.

Satai Lilit

Berbeda dengan satai di Jakarta, masakan ini dibuat dari daging yang dicincang, dicampur dengan parutan kelapa. Dagingnya bisa ayam, ikan, atau babi (daging jenis terakhir ini lebih popuper daripada sapi karena dalam keyakinan Hindu sapi adalah hewan yang suci). Tapi tenang, satai lilit Nur Corner hanya adaptasi dari satai yang asli. Daging yang dipakai adalah ayam.

Disebut lilit karena memasaknya dengan cara membelitkan adonan pada bambu pipih atau sereh. Sajian satai lilit yang saya makan di Nur Corner memakai kayu pipih, sementara pesanan yang saya bawa pulang memakai batang sereh.

Lawar Daun Singkong 

“Orang Bali makan sayur singkong?” tanya Bu Lily.

Biasanya, pada nasi campur Bali, yang disajikan adalah lawar, tapi bukan dari daun singkong. Oke, katakanlah ini lawar daun singkong (sekalipun tidak memakai campuran suwiran daging).

Lawar adalah sajian pada tradisi keagamaan di Bali. Pada resep aslinya, lawar dibubuhi darah hewan (ya pastinya babi).

Di Nur Corner, lawar daun singkongnya lebih mirip sayur daun singkong yang dimasak Bibi (asisten rumah tangga saya).

Sisit Ayam

Hidangan ini berupa suwiran ayam yang menjadi pelengkap nasi campur bali. Cara membuatnya dengan merebus ayam, menyuwirinya, lalu membumbuinya sebelum menumis.

Ayam Betutu

Ini juga hidangan pada upacara keagamaan di Bali. Masakan ini dibuat dengan melamuri dengan bumbu, lalu memanggangnya. Pada sajian di piring nasi campur, ayam ini seperti tertutup bumbu berwarna kuning.

Ke Resto Biru Lagi

Bumbu Mahabarata

Sebelum Bu Lily menyantap Soto Betawinya, dia  mencicipi pesanan saya.

“Bagaimana?” tanya saya.

Seperti seorang juri di lomba masak, Bu Lily mengunyah lalu berkata, “Ya, memang tajam.” Bu Lily orang Jawa, dan berpengalaman di dapur daripada saya.

Saya lega dengan komentar Bu Lily. Alhamdulillah lidah Jakarta saya tidak salah.

Sebetulnya bukan salah atau benar. Makanan terkait budaya, dan ketika kita mencicipi hidangan suatu daerah, maka kita perlu memahami apa makna sebuah cita rasa bagi mereka.

Dalam buku Pawon Bali yang ditulis oleh Nanik Mirna Agung, disebutkan bahwa bumbu terkait dengan cerita Mahabarata. Saat Pandawa Lima kalah dalam peperangan Kurusetra, mereka bersembunyi di Kerajaan Wirata. Selama persembunyian mereka mendapat anugrah rasa.  Yudistira (Pandawa yang sulung) menjadi spesialis  rasa asin. Dalam perkembangannya, rasa asin melekat pada kencur. Rasa sepat diberikan kepada Bima, yang kemudian menjadi lengkuas, Arjuna mendapat rasa pahit, cikal bakal kunyit. Si Kembar memperoleh rasa berbeda. Nakula menjadi pakar rasa pedas (jahe), dan Sadewa rasa manis (bawang). Dengan kemampuan menghasilkan masakan yang lezat, Pandawa menjadi disayang oleh Raja Wirata.

Menurut Nanik Mirna Agung, yang berasal dari Kerajaan Gianyar, bumbu-bumbu Bali disebut basa. Ada bumbu pokok (berisi bumbu-bumbu Pandawa Lima), dan bumbu pelengkap (cabai, terasi, kemiri, lempuyang, kunci).

Di buku Mengenal Kuliner Bali oleh Rani Panti Ariani disebutkan bahwa basa dikelompokkan dalam bumbu basah (bawang dan cabai), bumbu kering (ketumbar, merica, kemiri, pala, jinten, kapulaga), bumbu penyedap rasa (terasi, limo, nipis, asam, kecombrang, garam, daun salam dan cengkeh), dan bungkilan (kencur, kunyit, jahe, lengkuas).

Dengan bumbu-bumbu itu, orang Bali membuat bumbu dasar yang dipakai pada semua masakan. Bumbu dasar itu disebut dengan basa genep atau basa gede (menggunakan semua bumbu basah dan kering, ditambah beberapa jenis bumbu penyedap rasa).

Duh, saya tidak mengenal budaya Bali. Bumbu dalam sepiring Nasi Campur Bali sudah menggambarkan bahwa makan bukan sekadar mengunyah dan menelan.

 

Kiat agar Nikmat

“Cara makannya jangan satu per satu. Dicampur semua,” kata Bu Lily.

Saya ikuti sarannya. Saya mengamil sejumput nasi, lalu secuwil ayam suwir,  sedikit lumatan daun singkong, dan sepotong kecil telur rebus. Saya kunyah dan mamah. Oh ya saya gigit juga satai lilit.

Betul juga Bu Lily. Testur padat pada ayam, berpadu dengan kasar daun singkong kenyal telur rebus, berpasirnya satai lilit, dan lengketnya nasi.

Tunggu, menurut Bu Lily, tekstur nasi harusnya lebih lengket. “Agak pera,” katanya.

Saya tidak lagi memperhatikan setiap tekstur, karena makanan itu berpadu ramai, seperti gamelan Bali, yang dinamis, cepat dan meledak-ledak.

“Minumnya teh pahit saja,” kata Bu Lily lagi. Oh ya saya telanjur memasukkan pemanis pada Teh Pandan.

Untunglah saya selalu membawa air putih dalam tumbler. Lidah pun saya guyur dengan air putih setelah makanan saya tak tersisa.

Soto Betawi Bu Lily pun habis.

Setelah menyelesaikan pembayaran, tiba-tiba saya teringat sesuatu. “Mas, tadi saya pesan risoles,” kata saya kepada pramusaji.

“Sebentar saya cek dulu,” katanya. Kemudian dia kembali lagi. “Maaf, risolesnya terlewat.”

Saya bersyukur tidak jadi makan risoles. Saya sudah terlalu kenyang dengan tetabuhan rasa dan volume makanan.

Hari ini adalah hari basa Bali. Indra pengecap saya seperti sosialita yang sibuk menerima tamu-tamu yang riuh dengan rasa.

 

Makan Nasi Campur Bali Lagi

Pengisi Konten: Endah WS

Page Builder: Divi/Elegant Themes

Layout Pack: Food Bank

Font: Lora (Heading)/Default (Body Text)

Foto: Endah

Images:

Canva (@Sastramegaimages, Paramore, Satria, Marx Fidel)